Sabtu, 13 Juli 2013

Fitnah Lebih Kejam dari Pembunuhan (Wal fitnatu asyaddu minal qatli)





.


                                                            AlQuran surat Al Baqarah ayat 191 “Wal fitnatu asyaddu minal qatli.”                    
                                                        yang artinya “Dan fitnah itu lebih sangat (dosanya) daripada pembunuhan


  Oleh: Bang Pria Sakti. (0821-4152-3999)
  Bismillaahirrahmaanirrahiim,

Sering kali kita mendengar istilah “fitnah lebih kejam dari pembunuhan”.

Definisi fitnah dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perkataan bohong tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang).

“Fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan(QS. Al Baqarah, 2 : 191)

Dalil inilah yang dipakai untuk menyebutkan bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Tapi sebelum kita bahas ini mari kita lihat dulu definisi dari kata fitnah.
Fitnah dalam bahasa Al Quran sangat berbeda pengertiannya dengan fitnah dalam bahasa Indonesia.

Dalam bahasa Indonesia fitnah berarti sebagai perkataan tanpa dasar yang dilancarkan untuk menjatuhkan atau merendahkan martabat seseorang. Atau agar supaya seseorang itu menanggung akibat dari apa yang sebenarnya tidak dia kerjakan. Sedangkan menurut pakar bahasa Al Ishfahani, dalam bahasa Arab fitnah mengandung makna (dasar) pembakaran emas (logam mulia) agar bersih dan terlepas dari unsur-unsur yang rendah

Selanjutnya, kata fitnah digunakan untuk arti sesuatu yang berat dan memberatkan (Asy Syiddah). Dalam Al Qur’an, kata fitnah dalam berbagai bentuknya diulang sebanyak 44 kali dan digunakan untuk beberapa makna.

1. Al Ikhtibar,

Yaitu ujian dan cobaan.  Seperti pada ayat, yang artinya “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar.” (QS. Al Anfaal, 8 : 28) Dan ayat yang artinya "Dan Kami telah mengujimu dengan beberapa cobaan." (QS. Thaaha, 20 : 40)

2. Fitnah berarti Al Bala,

Yaitu bencana “Dan peliharalah dirimu darisiksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzholim saja di antara kamu. (QS. Al Anfaal, 8 : 25)

Atau siksaan dan penganiayaan yang sangat kejam dan melampaui batas-batas perikemanusiaan, seperti interogasi disertai penyiksaan. Pernyataan Al Quran bahwa "Fitnah lebih besar dari pembunuhan.” (QS. Al Baqarah, 2 : 191) dimaksudkan karena musyrikin Mekah yang menganiaya kaum muslimin, menyiksa mereka dengan berbagai siksaan jasmani, perampasan harta dan pemisahan sanak keluarga, teror serta pengusiran dari tanah kelahirannya, bahkan menyangkut agama dan keyakinan mereka.

Untuk pemaknaan inilah maka hal seperti mati (dibunuh) tentu lebih ringan daripada dibiarkan hidup tetapi disiksa secara biadab seperti contoh di atas, karena itu “Fitnah lebih besar dari pembunuhan” atau dapat diartikan lebih kejam dari pembunuhan.

3. Makna lain dari fitnah adalah Al ‘Adzab

Yaitu siksa Allah SWT di akhirat. Ayat “Rasakanlah siksaanmu itu. Inilah azab yang dulu kamu minta untuk disegerakan.” (QS. Adz Dzaariyat, 51 : 14)

Karena itu jika melihat definisi fitnah adalah pembakaran emas agar bersih dan terlepas dari unsur-unsur yang rendah seperti besi dan sebagainya, maka fitnah tak lain sebagai proses alami (sunnatullah) untuk menguji kualitas iman seseorang, apakah ia mukmin sejati (emas)  atau ia munafik (besi rongsokan) yang dipoles saja agar tampak indah.

Dalam keseharian kitapun Rasul mengajarkan agar kita selalu menghindar dan terhindar dari berbagai fitnah. Seperti membaca doa yang beliau contohkan setelah Tasyahud Akhir atau Tahiyyatul Akhir yaitu ;

“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari azab api neraka Jahannam, dari azab kubur, dari fitnah/ujian ketika hidup dan mati dan dari kejahatan fitnah Dajjal.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah r.a.)

Semoga saya, sahabat dan kita semua termasuk orang-orang yang selalu terhindar dari fitnah. Aamiin Yaa Rabb.

Tidaklah lebih baik dari yang menulis ataupun yang membaca, karena yang lebih baik di sisi ALLAH adalah yang mengamalkannya.

Parlemen adalah tempat untuk syirik dan kufur, tidak dibolehkan bagi kaum Muslimin untuk menjadi bagian didalamnya – apakah dia menjadi anggota parlemen atau dengan menjadi seorang kandidat, mengumpulkan suara untuk ambil bagian didamalnya – tidak juga untuk menjadi pemilih bagi sebagain orang yang ingin bergabung didalamnya, tidak menjadi perkerja untuk memeliharanya, tidak menjadi seorang kepala koki bagi orang-orang yang terlibat didalamnya, tidak menjadi seorang pegawai yang bekerja apa saja pada posisi apa saja apakah itu administrative atau jasa lainnya.

Sebab itu adalah adalah Thaghut, sebuah tempat dari legislasi yang melahirkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang berbeda dengan apa yang diturunkan oleh Allah (swt). Juga basis dasar dari parlemen dan demokrasi yang mempunyai konsep ‘kedaulatan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’; bahwa rakyat adalah satu-satunya untuk membuat undang-undang melalui wakil-wakilnya (anggota parlemen).

Ini sangat berlawanan dengan yang paling mendasar dalam Islam (tauhid), keagungan dari kekuasaan Allah dalam nama dan sifatNya, keagungan dalam hak dan perbuatanNya; parlemen berlawanan dan mengingkari keagungan Allah (swt) dengan kedaulatan dan membuat undang-undang, Allah (swt) berfirman,

“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS Al An’aam 6: 57)

Allah tidak mengatakan dalam ayat ini bahwa “Kekuasaan tidak lain hanyalah milik Allah”, tetapi ini adalah hak dari Allah semata dan Dia (swt) berfirman,

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS Al Ma’idah 5: 50)

Dan Allah (swt) juga berfirman,

“…dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan." (QS Al Kahfi 18: 26)

Allah tidak perlu sekutu untuk menetapkan hukum, tidak juga butuh rakyat, parlement atau sesuatu yang lainnya. Sebagaimana pernyataan dari orang-orang yang berkata, bahwa ‘asal usul dari demokrasi adalah bentuk dari musyawarah (syura),’ kita mengatakan bahwa pernyataan ini adalah satu dari pernyataan: (i) seorang pembohong dan pembual, (ii) tidak tahu, (iii) atau dia tersesat.

Ini adalah sebab demokrasi tidak berdasarkan pada musyawarah yang sah, melainkan itu bedasarkan pada undang-undang; anggota parlemen bermusyawarah antara yang satu dengan yang laiannya dalam setiap masalah, - apakah itu permasalah yang boleh untuk dimusyawarahkan atau tidak (yaitu mereka akan bermusyawarah pada masalah-masalah yang telah jelas hukum-hukumnya seperti Alkohol atau perzinahan) – dengan tujuan untuk menetapkan sebuah hukum, itu adalah realitas dari fungsi parlemen.

Perihal putusan orang-orang yang memasukinya dan ambil bagian dalam parlemen, mereka adalah seperti mengikuti,

1. Seseorang yang ambil bagian dalam parlemen dan penetapan sebuah hukum yang berlawanan dengan syari’ah atau dia fokus untuk sebuah resolusi atau untuk memilihnya, atau ambil bagian dalam sebuah referamdum untuk semua hukum yang bertetangan dengan syari’ah, itu adalah seorang Musyrik Kafir yang tidak ada keringanan dengan ketidaktahuan atau dengan interpretasi atau bahkan dengan menyatakan untuk mencari banyak manfaat. Allah (swt) berfirman,
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS Asy Syura 42: 21)

Dan Allah (swt) berfirman,

“dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan." (QS Al Kahfi 18: 26)

Juga,

“…Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah…” (QS Al An’aam 6: 57)

2.  Orang-orang yang masuk kedalam parlemen dan memberikan sebuah sumpah untuk bertanggung jawab pada konstitusi buatan manusia dan hukum-hukumnya, yang tidak berdasarkan Islam – mengetahui semuanya dengan baik yang ada pada konstitusi tersebut yang jelas-jelas bertentang dengan syari’ah – itu adalah kufur dengan jelas (tertolak keimanannya) dan murtad, apakah dia sungguh-sungguh telah bersumpah atau tidak, dan dengan sengaja. Ini adalah bentuk sumpah yang sama dengan sumpah yang digunakan yang diberikan oleh anggota parlemen Quraisy pada masa Rasulullah (saw), yang telah memberikan sebuah sumpah untuk mematuhi Al Laat dan Al Uzzah.

3. Jika dia tidak memberikan sumpah apapun untuk mematuhi konstitusi dan hukum buatan manusia tidak juga ambil bagian dalam legislasi apapun, tidak ikut serta dalam membuat referendum yang berlawanan dengan syari’ah, sepertinya dia menolak secara terbuka dan bersuara untuk memeranginya, menolak hak dari semua anggota parlemen untuk menetapkan undang-undang, setidaknya kita mengatakan bahwa orang itu tersesat, menyimpang dari petunjuk yang merubah dan memperbaharui metode yang berdasarkan dari Rasulullah (saw).
Selanjutnya, dia tidak murtad tetapi dia menyimpang dan tersesat karena dia memilih jalam syirik, yang tidak berpetunjuk dan murtas sebagai sebuah jalan untuk berdakwah, merubah dan memperbaharui, jalan kebatilan dan kesesatan dan tidak berjalan dengan haq, Allah (swt) berfirman,

“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (QS Yunus: 32)

4. Sebagian orang-orang yang berergumen bahwa ambil bagian dalam palemen kufur adalah hanya bertujuan untuk mengambilnya sebagai sebuah wadah untuk menyeru kepada Dien Allah dan untuk manfaat Islam serta masyrakat Muslim. Mereka menyatakan bahwa dengan tujuan-tujuan itu mereka masuk kedalam parlemen. Mereka harus bersekutu dengan para sekulerits dan partai atau jamaah kufur dengan tujuan untuk memperoleh sebuah status politik, menyatakan bahwa dia melakukan demikian hanya untuk Allah semata dan berdakwah serta tidak untuk melakukan syrik.

Ini adalah salah satu argumen yang mereka lemparkan, yang digunakan untuk meraih manfaat yaitu berdakwah atau untuk kepentingan rakyat, menyatakan bahwa mereka melakukan perbuatan yang baik. Itu benar-benar sebuah kesalahan, tersesat dan menyimpang karena mengikuti sesuatu yang berlawanan dengan syari’ah,
a. Allah (swt) berfirman,

“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu, Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS Al Hijr 15: 92-94)

ayat ini membwa sebuah larangan untuk berkompromi dengan musyrikien untuk memperoleh kepentingan politik apapun atau dengan tujuan untuk kepentingan sebagian manfaat atau bahkan untuk berdakwah; itu sebabnya urutan ayat diatas untuk memproklamirkan kebenaran secara terbuka walaupun jika mereka menawarkan kepada kita keuntungan materi.

b. Allah (swt) melarang kita dari meninggalkan Syariah dengan alasan apapun, dalam surah Al An’aam, Allah (swt) berfirman,

“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada Tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik” (QS Al An’aam 6: 106)

Kata “Berpalinglah dari orang-orang musyrik” adalah umum dan tidak terbatas pada saat berhadapan dengan apa yang berpotensi untuk manfaat atau kesenangan.

c. Ini adalah sebuah kesesatan dengan mengatakan, ‘saya bisa melakukan apapun dan segalanya dengan tujuan untuk meyampaikan kebenaran atau untuk mencari manfaat dan kesenangan’ dengan alasan palsu dari ‘dengan tujuan untuk membenarkan maksudnya’, itu benar-benar sebuah kesalahan sebagaimana Allah (swt) berfirman,

“…dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir." Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka….” (QS Al Kahfi 18: 28-29)

Ini adalah sebuah bukti dalam ayat diatas, bahwa Allah memerinthkannya untuk berbicara kebenaran pada saat berdakwah, walaupun dengan konsekuensi bertentangan dengan keinginannya, dalam kasus ini dia harus berdiri ditas haq di luar parlemen, walaupun berkeinginan untuk memperoleh keuntungan dengan memasukinya.

d. Selanjutnya dalam surah Al Baqarah, Allah (swt) berfirman,

“fitnah lebih kejam daripada pembunuhan,” (QS Al Baqarah 2: 217)

“Fitnah lebih berbahaya daripada membunuh.” (QS Al Baqarah 2: 191)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang ayat ini, yang bersumber dari Aaliyah, Mujahidm Ikrimah, Sa’id ibnu Jubair, Al Dahhaq, Qatada, Ar Rabii’ Ibnu Anas dan dalam perkataan lain:

“Syirik lebih kejam daripada membunuh”

Sungguh, fitnah adalah kufur dan syirik serta tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk ambil bagian didalamnya, kaum Muslimin seharusnya tidak pernah kompromi dengan kufur atau syirik hanya untuk kesenangan atau manfaat. Ulama-ulama terbaik Islam seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, Syeikh ul Islam Ibnu Taimiyah dan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab semuanya berkata,

Jika masyarakat kota dan desa berkelahi antara yang satu dengan yang lainnya sampai semuanya saling membunuh, itu akan lebih kejam daripada setuju bersama-sama untuk menunjuk seorang thaghut yang memerintah dengan apa yang berlawanan dengan syariah Islam.

Lebih lanjut, prinsip dari ‘membawa manfaat dan mencegah kejahatan adalah berdasarakan seluruhnya pada syri’ah yang telah ditegaskan dan ditetapkan adalah manfaat serta apa yang telah syariah tetapkan tegaskan dan tetapkan menjadi kejahatan adalah tetap kejahatan, sama sekali tidak apa yang ada dalam benak atau rasio gambarkan.

Selanjutnya, isu dari tekanan untuk melakukan haram dalam Silam mempunyai sebuah prasayarat tertentu bahwa kejahatan harus terbentuk lebih dahulu dalam urutan dengan tujuan untuk memaksa seseorang tidak mempertimbangkan sebuah pelanggaran tidak juga suka menentang aturan Islam, Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Baqarah 2: 173)

Ayat ini adalah sebuah prinsip dari keterpaksaan dan harus mempunyai kondisi yang sangat jelas bahwa rasa lapar yang diderita harus terpenuhi seseorang sebagai prasyarat sebelum dia memakan apa yang pada awalnya dilarang dengan tujuan untuk melanjutkan kehidupan. Itu adalah kondisi yang dia tidak bisa melanjutkan makan dengan sesuatu yang pada awalnya di haramkan, tetapi hanya sebatas untuk melanjutkan kehidupan dan tidak berlebihan.

Selanjutnya, ada perbedaan besar antara seseorang yang dalam kondisi kelaparan karena ketidakadaan undang-undang makan dan begitu dia memakan makanan yang dilarang, dan seseorang yang duduk di parlemen yang tidak dalam paksaan seorangpun, setidaknya dia terlibat dalam kemurtadan dengan pilihannya sendiri tanpa paksaan untuk melakukannya. Maka dimana indikasi dari kebolehan untuk memakan bengkai bagi seseorang yang kelaparan, dengan orang-orang yang bisa masuk ke dalam parlemen kufur dan melegalkan hukum dibawah pernyataan bahwa mereka mengetahui apa yang bermanfaat untuk dakwah (seperti jika mereka mengetahui lebih baik daripada Allah)? Allah (swt) berfirman,

“Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang menyembunyikan syahadah dari Allah yang ada padanya?" Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Baqarah 2: 140)

Sebagaimana untuk prinsip dari keterpaksaan, yang bisa membolehkan kaum Muslimin untuk melakukan atau mengatakan kufur, sebagaimana ada sebuah prasyarat kondisi untuk menetapkan bahwa diizinkan melakukannya dengan syarat harus berkaitan dengan permasahan antara hidup dan mati atau dengan luka yang parah serta dengan kondisi hati yang penuh keimanan. Allah (swt) berfirman,

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS An Nahl 16:106)

Ini adalah satu-satunya keadaan yang dipertimbangkan dalam keterpaksaan, ini tidak lain hanyalah sebuah ancaman antara hidup dan mati atau dengan luka yang parah yang mendapatkan keringanan itu untuk menagtakan atau melakukan kekufuran, maka dimana hujjah untuk melakukan kekufuran tanpa paksaan hanya dengan menyatakan untuk kepentingan kaum Muslimin dan dakwah?

Orang-orang yang membenarkan ambil bagian dalam pemilihan anggota parlemen dan juga menjadi anggota parlemen atau berpihak pada kuffar, itu adalah jalan terinovasi (tidak ada tuntunan dari Rasulullah) dan menyimpang, jalan kompromi adalah jalan yang berlawanan dengan ajaran Rasulullah (saw) dan ijma para Shahabat serta pendahulu yang Sholeh, kita dapat mengetahui hal tersebut melalui Sirah Rasulullah (saw) yang di riwayatkan oleh Ibnu Hisyam, pada saat Quraisy emgirimkan kepada beliau (saw) Utbah untuk mencari sebuah kesepakatan, Jaabir Ibnu Abdullah meriwayatkan bahwa,

“Utbah Ibnu Rabie’ah datang dari kalangan Quraisy kemudian berkata pada Muhammad (saw), “Yaa Muhammad, kamu telah memecah belah masyarakat kami, memisahkan suami dari istrinya, telah menghina Bapak-bapak kami dewa kami juga tuhan kami, kamu telah mengekspos kami diantara orang-orang Arab, Yaa Muhammad, jika yang kamu cari adalah kekuasaan, kami akan melakukan kesepakatan denganmu untuk menjadi pemimpin kami dan jika yang kamu cari adalah untuk memperoleh kedudukan yang mulia, kami akan memberikan posisi kami kepadamu, dan jika kamu ingin menjadi raja, kami akan menjadi kamu sebagai Raja.” Muhammad (saw) menolaknya dan mulai membacakan surah Fussilat “Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan. Mereka berkata:


"Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula). Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, (QS Fusilat 1-6)

Ayat ini diturunkan kepada Muhammad (saw) untuk menepis kesepakatan mereka, yang mereka tawarkan kepadanya, kedudukan, uang dan banyak manfaat lain agar Rasulullah dapat mengkompromikan diennya yang berdasarkan pada Tauhid dan menolak semua kekufuran juga thaghut dan untuk meningkari system itu sekaligus memeranginya juga mendeklarasikan baraa’a (pemisahan) darinya.

Demi Allah, apa akibatnya jika tawaran itu telah diberikan kepada orang-orang yang menyimpang dari Muslim yang mempunyai iman yang lemah dalam hatinya juga pendirian yang lemah? Jika mereka ditawari posisi mereka untuk masuk kedalam parlemen, mereka akan dengan senang hati menerimanya, setiap orang dari mereka dan mereka akan siap untuk mengkompromikan segala sesuatu.

Lebih lanjut hujjah yang mengekspos pernyataan salah dari orang-orang yang membolehkan untuk masuk kedalam parleman terdapat dalam Sirah Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam Vol. 1 hal tersebut meriwayatkan bahwa Rasulullah (saw) menawarkan Islam kepada orang-orang dari kalangan suku Bani Aamir Al Sa’sa’a, mereka berkata kepadanya sebagai sebuah kondisi yang di terima dien.

“Apakah kamu melihat jika kami bersumpah kepadamu untuk mengikuti apa yang kamu serukan kepada kita, kemudian Allah memberikan kamu kekuasaan atas semua orang-orang yang tidak setuju denganmu dan kemudian kamu meninggalkannya, akankah kita membagi kekuasaan setelah kamu? Rasulullah (saw) bersabda: “segala sesuatu berada ditangan Allah, dia yang memberikan kepada siapa saja yang diainginkan.” Kemudian mereka menolak untuk beriman kepadanya (saw),” (Sirah Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq)

Dalam kasus ini, musyrikin telah bersumpah untuk menerima Rasulullah (saw) untuk menjadi seorang pemimpin dengan tujuan untuk membagi kekuasan dengannya dan mempunya sebuah aturan, bahwa dia (saw) memimpin setelah itu mereka akan memimpin setelahnya (saw), jalan yang sama pada kaum Muslimin yang berada dalam parlemaen saat ini adalah bahwa mereka bersekutu dengan partai-partai kufur, yang mana Rasulullah (saw) telah menolaknya. Sungguh, jika ini di tawarkan kepada kaum Muslimin yang berada dalam parlemen, mereka akan mengkompromikan segala sesuatu kemudian menerimanya.

Sebagai tambahan juga telah diriwayatkan dalam sirah Ibnu Ishaq, bahwa delegasi dari Banu Thaqief, pada saat mereka datang kepada Rasulullah (saw) memluk Islam, mereka meminta kepada beliau untuk membolekan dirinya tetap menyimpan berhala sampaI Islam tekah masuk kedalam hati masyarakat, dia (saw)  benar-benar menolaknya untuk membolehkan menyimpan berhala bahkan untuk sedikit waktu disamping faktanya bahwa membiarkan untuk menyimpan berhala bisa mendatangkan manfaat bagi kepentingan dakwahnya, meningkatkan kaum Muslimin dan dengan begitu akan bisa meraih keamanan yang lebih baik dari segala pengingkaran dan perubahan. Disamping semua potensi manfaat yang lainnya, Rasulullah (saw) menolak untuk berkompromi.

Jadi bagaimana orang-orang yang berada dalam parlemen akan berhadapan dengan Allah pada hari pengadilan nanti pada mereka untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka (memasuki parlemen kufur yang mengkompromikan syari’ahNya)? Ini sungguh jauh berbeda dari contoh Rasulullah (saw) pada kuffar telah menawarkan kepada mereka.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb- .www.jejakkasus.info

Tidak ada komentar: